AKU menikahi Manusia Es.
Pertama bertemu dengannya di sebuah hotel di ski resort,
tempat paling sempurna untuk menemukan Manusia Es, memang. Lobi hotel begitu
riuh dengan anak muda, tapi Manusia Es duduk sendiri di kursi sudut yang
letaknya paling jauh dari perapian, diam membaca buku sendirian. Meski sudah
hampir malam, tapi cahaya dingin pagi awalwinter terlihat berpendar mengitarinya.
“Lihat! Itu si Manusia Es,”
bisik temanku.
Waktu itu, aku sungguh tak tahu
makhluk apa itu Manusia Es. Temanku juga. “Dia pasti terbuat dari es. Itu
sebabnya orang-orang menyebutnya Manusia Es.” Temanku mengatakan hal tersebut
dalam nada serius seolah dia sedang membicarakan hantu atau seseorang dengan
penyakit menular.
Manusia Es tinggi, tampak muda,
tegap, sedikit bagian rambutnya tampak putih seperti segenggam salju yang tak
meleleh. Tulang pipinya tajam meninggi seperti batu yang beku, dan jarinya
embun beku putih yang seolah abadi. Namun begitu, Manusia Es terlihat seperti
manusia normal. Dia tidak seperti lelaki yang bisa kau sebut tampan memang,
tapi dia terlihat begitu menarik—tergantung dari bagaimana kau melihatnya.
Dalam suatu kesempatan, sesuatu tentang dia menusukku sampai ke hati. Aku
merasakan hal tersebut terutama saat memandang matanya. Tatapannya senyap dan
transparan seperti serpih cahaya dalam untaian tetes salju di pagi musim dingin.
Seperti kilatan kehidupan dalam tubuh makhluk buatan.
Aku berdiri beberapa saat
memperhatikan si Manusia Es dalam jarak dekat. Dia tak menoleh. Dia hanya duduk
diam, tak bergerak. Membaca bukunya seakan tiada seorang pun yang ada di sana
selain dirinya….
Keesokan paginya, Manusia Es
masih berada di tempat yang sama, membaca buku dengan cara yang persis sama.
Ketika aku melangkah ke ruang makan untuk makan siang, dan ketika aku kembali
dari bermain ski dengan teman-teman pada malam tersebut, dia masih ada di sana,
mengarahkan tatapan yang sama pada halaman-halaman buku yang sama. Hal serupa
terjadi sehari setelah itu. Bahkan ketika matahari tenggelam rendah, dan jam
terlambat tumbuh, ia duduk di kursinya, setenang adegan musim dingin di luar
jendela.
Aku menatap keluar jendela,
berdesir saat melihat halaman-halaman surat kabar, dan sekonyong mendekat ke
Manusia Es, mengumpulkan keberaniann untuk berbicara.
Aku cenderung pemalu dengan
orang asing, kecuali memiliki alasan yang sangat bagus, aku biasanya tak mudah
berbicara dengan orang yang tak kukenal. Tapi dengan Manusia Es aku merasa
memiliki dorongan untuk berbincang, tak peduli tentang apa pun itu. Ini malam
terakhirku di hotel tersebut, dan jika kubiarkan kesempatan ini pergi, aku
takut aku takkan punya kesempatan lagi untuk bisa berbicara dengan dia: pria
es, si Manusia Es itu….
“Nggak main ski?” tanyaku
padanya, sesantai mungkin.
Dia memalingkan wajah perlahan
seolah mendengar suara di kejauhan. Dia menatapku, lalu dengan tenang
menggeleng. “Aku tidak bermain ski,” ucapnya. “Hanya ingin duduk di sini,
membaca dan melihat salju.”
Kata-katanya membentuk awan
putih di atas kepala, seperti balon-balon kata keterangan di komik strip. Aku
benar-benar bisa melihat kata-kata itu mengambang di udara, sampai ia menggosok
mereka pergi dengan jarinya yang beku. Aku tak tahu lagi apa yang harus
dikatakan selanjutnya. Aku hanya tersipu dan berdiri di sana.
Manusia Es menatap mataku dan
tampak sedikit tersenyum. “Mau duduk?” tanyanya. “Kau tertarik padaku, kan?
Ingin tahu apa itu Manusia Es?” Ia tertawa. “Tenang, tak ada yang perlu
dikhawatirkan. Nggak akan pilek kok kalau cuma bicara denganku….”
Kami duduk berdampingan di sofa
di sudut lobi dan menyaksikan butiran-butiran salju menari di luar jendela. Aku
memesan cokelat panas dan meminumnya, sedang Manusia Es tidak memimun apa-apa.
Rupanya dia tidak lebih jago dalam bercakap-cakap dari aku. Dan bukan hanya
itu, kami juga tak memiliki kesamaan apa pun untuk dijadikan bahan obrolan.
Awalnya, kami berbincang tentang cuaca. Lalu kami ngobrol tentang hotel.
“Anda di sini sendirian?”
tanyaku pada si Manusia Es.
“Ya,” jawabnya.
Dia bertanya, apakah
aku suka main ski? “Nggak
terlalu,” kataku. “Aku hanya datang karena teman-temanku ngotot mengajakku.
Sesungguhnya aku benar-benar jarang main ski….”
Ada banyak hal yang sebenarnya
sangat ingin aku tahu dari Manusia Es. Benarkan tubuhnya sungguh-sungguh
terbuat dari es? Apa yang dia makan? Di mana dia tinggal di musim panas? Apakah
dia punya keluarga? Ya,
hal-hal semacam itulah. Tetapi Manusia Es tidak bicara tentang dirinya, dan itu
membuatku menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan pribadi.
Sebaliknya, Manusia Es malah berbicara tentang aku. Rasanya sulit dipercaya,
tetapi entah bagaimana ia tahu semuanya. Dia tahu anggota keluargaku, dia tahu
umurku, tahu apa yang kusuka dan yang tidak, tahu keadaan kesehatanku, tahu
sekolah yang kumasuki dan tahu juga teman-teman yang biasa kukunjungi. Dia
bahkan tahu hal-hal yang telah terjadi begitu jauh di masa lalu yang aku
sendiri telah lupa.
“Saya tak mengerti,” kataku,
bingung. Aku merasa seakan-akan aku telanjang di depan orang asing. “Bagaimana
kamu bisa tahu begitu banyak tentang saya? Bisa baca pikiran orang ya…?”
“Nggak, saya nggak bisa baca
pikiran atau apa pun yang semacam itu. Cuma tahu saja,” ucap si Manusia Es.
“Saya tahu begitu saja. Seakan-akan saya jauh melihat ke dalam es, dan, ketika
saya melihat Anda seperti ini, hal-hal tentang Anda menjadi terlihat begitu
jelas bagi saya.”
Lalu aku bertanya, “Bisakah
kamu melihat masa depan?”
“Saya nggak bisa melihat masa
depan,” kata Manusia Es perlahan. “Saya sama sekali nggak mampu mengambil
keuntungan dari masa depan. Lebih tepatnya…, saya
nggak punya konsep masa depan karena es tak memiliki masa depan. Semuanya hanya
masa lalu yang terlampir di dalamnya. Dengan cara yang sangat bersih dan jelas,
es bisa mengawetkan banyak hal dan membuatnya seolah-olah masih hidup, meskipun
itu masa lalu. Itulah esensi es,” terangnya.
“Itu bagus,” ucapku sambil
tersenyum. “Benar-benar lega mendengarnya. Setelah ini… aku pun sungguh-sungguh
tak ingin tahu bagaimana masa depanku.”
***
Kami bertemu lagi beberapa kali
setelah aku kembali ke kota. Akhirnya, kami mulai berkencan. Kami tidak pergi
ke bioskop, atau ke café. Kami bahkan tidak pergi ke restoran. Manusia Es
jarang makan. Kita paling sering duduk-duduk di bangku taman dan berbincang
tentang banyak hal selain tentang Manusia Es sendiri.
“Kenapa begitu?” Sekali aku
pernah bertanya. “Mengapa kamu tidak mau bicara tentang dirimu? Aku ingin tahu
lebih banyak tentang kamu. Di manakah kamu dilahirkan? Seperti apa rupa orang
tuamu? Bagaimana ceritanya hingga kamu menjadi Manusia Es?”
Manusia Es menatapku sekejap
lalu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu,” katanya pelan dan jelas,
mengembuskan embusan gelembung kata putih ke udara. “Aku tahu banyak tentang
masa lalu hal-hal lain, tapi aku sendiri tidak punya masa lalu. Aku tidak tahu
di mana aku lahir, atau seperti apa orang tuaku. Aku bahkan tidak tahu apakah
aku memiliki orang tua. Aku juga tidak tahu berapa umurku, dan bahkan aku tidak
tahu apakah aku memiliki umur.” Manusia Es ternyata sesepi gunung es di malam
muram….
***
Aku serius jatuh cinta pada
Manusia Es. Manusia Es pun mencintaiku apa adanya—di masa kini, tanpa masa
depan. Pada gilirannya aku pun mencintai Manusia Es apa adanya—di masa
sekarang, tanpa masa lalu. Kami bahkan mulai berbicara tentang pernikahan.
Aku baru berusia dua puluh, dan
Manusia Es adalah lelaki pertama yang benar-benar kucintai. Saat itu, aku tidak
bisa membayangkan apa artinya mencintai seorang Manusia Es. Tapi bahkan jika
aku jatuh cinta pada pria normal sekalipun, aku ragu akankah aku bisa memiliki
ide yang jelas tentang cinta?
Ibu dan kakak perempuanku tentu
saja menentang ide menikahi Manusia Es.
“Kamu terlalu muda untuk
menikah,” kata mereka. “Selain itu, kamu juga tidak tahu apa-apa tentang latar
belakangnya. Kamu bahkan tidak tahu di mana Manusia Es dilahirkan dan kapan ia
lahir. Bagaimana mungkin kita bisa bilang ke saudara dan kerabat kita kalau
kamu menikahi orang semacam itu? Lagi pula, yang kita bicarakan ini Manusia Es!
Apa yang akan kamu lakukan jika tiba-tiba ia mencair, hah? Kamu nggak paham
kalau pernikahan itu memerlukan komitmen yang ‘riil’?!”
Biar bagaimanapun, kekhawatiran
mereka tidak beralasan. Karena pada akhirnya, Manusia Es tidak pernah
benar-benar terbuat dari es….
Posting Komentar