Dia tidak akan meleleh, tak peduli betapa hangat kondisi sekitar
di mana ia berada. Dia disebut Manusia Es karena tubuhnya sedingin es, tapi apa
yang membuatnya begitu, jelas bukan es. Itu bukan jenis dingin yang bisa
menghapus panas orang lain. Jadi… kami menikah.
Tidak ada yang memberkati
pernikahan itu. Tidak ada teman atau kerabat yang berbahagia untuk kami. Kami
tidak mengadakan upacara, dan, ketika datang waktunya bagiku untuk memiliki
nama keluarga yang terdaftar, Manusia Es tak memilikinya. Kami hanya memutuskan
bahwa kami berdua menikah. Kami membeli kue kecil dan makan bersama, dan itulah
pernikahan kami yang sederhana.
Kami menyewa subuah apartemen
kecil, dan Manusia Es mencari nafkah dengan bekerja di sebuah fasilitas
penyimpanan daging dingin. Dia bisa mengambil sejumlah rasa dingin dari sana,
dan tak pernah merasa lelah tak peduli seberapa keras ia bekerja. Majikan
suamiku sangat menyukainya, dan membayar gaji Manusia Es lebih tinggi dari
karyawan lain.
Kami berdua hidup bahagia tanpa
mengganggu atau diganggu siapa pun. Ketika kami bercinta dan Manusia Es
menggumuliku, aku melihat dalam pikiranku, sepotong es yang kuyakin ada di
suatu tempat di kesendirian yang tenang.
Kupikir Manusia Es mungkin tahu
di mana es tersebut berada. Es yang dingin, beku, dan keras, sebegitu kerasnya
hingga kupikir tidak ada yang bisa melebihi kekerasannya. Itulah lempengan es
terbesar di dunia. Terletak di suatu tempat yang sangat jauh, dan rupanya
manusia Es tengah membagikan kenangan tersebut padaku dan pada dunia.
Awalnya, aku kerap bingung bila
Manusia Es mengajak bercinta. Tapi, setelah beberapa waktu, aku menjadi
terbiasa. Aku bahkan mulai menyukai bercinta dengan Manusia Es.
Pada malam hari, diam-diam kami
berbagi potongan es terbesar di dunia, di mana ratusan juta tahun masa lalu
dunia, tersimpan di dalamnya.
***
Dalam kehidupan pernikahan
kami, tidak ada masalah untuk “berbicara”. Kami saling mencintai begitu dalam,
dan tak ada yang lebih penting dari itu.
Kami ingin punya anak, tapi itu
tampaknya tak mungkin. Ini lebih karena, mungkin… gen manusia dan gen Manusia
Es tidak bisa digabungkan dengan mudah. Dalam kasus semacam ini, karena kami
tidak memiliki anak, aku memiliki lebih banyak waktu.
Aku menyelesaikan semua
pekerjaan rumah di pagi hari, dan kemudian tidak ada lagi yang bisa kukerjakan.
Aku tidak punya teman untuk bicara atau pergi bersama, dan aku tak memiliki
banyak hal yang bisa dilakukan dengan para tetangga. Ibu dan kakak perempuanku
masih marah dan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin bertemu denganku lagi. Dan
meskipun bulan-bulan berlalu, dan orang-orang di sekitar kami mulai berbicara
dengan Manusia Es, jauh di dalam hati, mereka masih belum bisa menerima
keberadaan Manusia Es atau aku—yang telah menikahinya. Kami berbeda dari
mereka, dan tak ada jumlah waktu yang dapat menjembatani kesenjangan itu. Jadi,
sementara suamiku Manusia Es bekerja, aku tinggal sendiri di rumah, membaca
buku dan mendengarkan musik.
Biar bagaimanapun aku cnderung
lebih suka tinggal di rumah dan aku tak keberatan sendirian. Hanya saja aku
masih muda, dan melakukan hal yang sama hari demi hari akhirnya mulai terasa
mengganggu. Bukan kebosanan yang menyakitkan, tapi pengulangan. Itu sebabnya
suatu hari aku berkata pada suamiku, “Bagaimana kalau kita pergi berdua? Sebuah
perjalanan. Untuk ganti suasana saja….”
“Sebuah perjalanan?” tukas
Manusia Es. Dia menyipitkan mata dan menatapku. “Untuk apa kita melakukan
perjalanan? Tidakkah kau bahagia di sini bersamaku?”
“Bukan itu,” kataku. “Tentu
saja aku senang bersamamu, tapi aku bosan. Aku merasa ingin pergi ke suatu
tempat yang jauh dan melihat hal-hal yang belum pernah kulihat. Aku ingin tahu
bagaimana rasanya menghirup udara baru. Kamu mengerti kan maksudku? Lagi pula… kita belum berbulan madu.
Kita punya tabungan dan kamu punya hari libur yang harus kamu isi. Bukankah ini
cuma masalah waktu saja? Kita akan pergi ke suatu tempat, dan segalanya akan
mudah serta menyenangkan.”
Manusia Es menghela napas
bekunya dalam-dalam. Napas beku yang mengkristal di udara diiringi sedikit
suara gemerincing. Dia menyusurkan jejarinya yang panjang bersama-sama di
lutut. “Baiklah, jika kamu benar-benar ingin melakukan perjalanan, aku tak
keberatan. Aku akan turut pergi ke mana pun kamu pergi andai itu membuatmu
bahagia. Tapi, kamu tahu ke mana kamu mau pergi?”
“Bagaimana kalau kita
mengunjungi Kutub Selatan?” kataku. Kupilih Kutub Selatan karena aku yakin
bahwa Manusia Es akan tertarik pergi ke suatu tempat yang dingin. Dan, jujur
saja, aku memang selalu ingin melakukan perjalanan ke sana. Aku ingin
mengenakan mantel bulu yang bertopi indah, aku ingin melihat aurora
australis dan
juga kawanan penguin yang sibuk bermain. Namun, saat kukatakan hal tersebut,
suamiku menatapku lekat, tanpa berkedip, dan aku merasa seolah-olah sebongkoah
es menusukku, menembus bagian belakang kepalaku.
Manusia Es diam sejenak, dan
akhirnya berkata dengan suara yang seperti salju berdentingan, “Baiklah kalau
itu yang kau inginkan. Mari kita pergi ke Kutub Selatan…. Kau sungguh-sungguh
yakin ini yang kau inginkan?”
Entah kenapa aku tak bisa
segera menjawab. Suamiku, Manusia Es, menatapku begitu lama, sedang di dalam
kepalaku, aku seperti mati rasa. Lalu aku mengangguk.
***
Seiring waktu berlalu, aku
mulai menyesali gagasan pergi ke Kutub Selatan. Aku tak tahu persisnya kenapa,
tapi begitu aku mengucapkan kata “Kutub Selatan”, sesuatu berubah dalam diri
suamiku. Matanya menjadi lebih tajam, napas yang keluar jadi lebih putih, dan
jejarinya terlihat semakin beku. Setelah itu dia tak berbicara padaku lagi dan
ia juga berhenti makan sepenuhnya. Semua itu tentu saja membuatku merasa sangat
tidak nyaman.
Lima hari sebelum waktu
berangkat, kubangun keberanian dan kukatakan pada suamiku, “Mari kita lupakan
Kutub Selatan. Ketika kupikir hal itu sekarang, aku sadar kalau saat ini akan
menjadi sangat dingin di sana, dan itu tidak bagus untuk kesehatanku. Jadi aku
mulai berpikir mungkin lebih baik kalau kita pergi ke suatu tempat yang lebih
biasa. Bagaimana kalau Eropa? Mari kita liburan di Spanyol. Kita bisa minum
anggur, makan paella, dan melihat adu banteng atau sesuatu yang….”
Tapi suamiku tak menaruh
perhatian, ia menatap angkasa beberapa lama lalu berkata, “Tidak, aku tidak
terlalu ingin pergi ke Spanyol. Spanyol terlalu panas bagiku dan kotanya
terlalu berdebu. Makanannya terlalu pedas. Selain itu, kita sudah membeli tiket
ke Kutub Selatan. Dan kita punya mantel bulu, dan sepatu bootberbulumu
sudah berbaris. Tak mungkin kita membuangnya ke tempat sampah. Sekarang kita
sudah sejauh ini, kita tidak bisa tidak pergi….”
Alasan sesungguhnya aku
mengajukan ide Eropa adalah bahwa sebenarnya aku takut. Aku memiliki firasat
bahwa jika kami pergi ke Kutub Selatan sesuatu akan terjadi, dan sesuatu itu
tak akan mungkin bisa di-undo.
Tidak bisa diulang-kembalikan lagi.
Belakangan aku mengalami mimpi
buruk, dan itu terjadi berulang-ulang. Selalu mimpi yang sama. Aku keluar
berjalan-jalan sendiri lalu terjatuh begitu saja ke jurang yang dalam. Jurang
terbuka di dasar tanah. Tak seorang pun menemukanku. Aku membeku di bawah sana.
Diam dalam es, menatap nyalang ke langit di atas permukaan. Aku sadar, tapi aku
tidak bisa bergerak, bahkan untuk menggerakkan jari pun aku tak mampu. Dari
waktu ke waktu aku sadar aku telah menjadi masa lalu. Aku seolah ada dalam
adegan yang bergerak mundur, menjauh dari mereka; orang-orang tersebut. Lalu
sekonyong aku terbangun, dan saat terbangun, aku menemukan Manusia Es terbaring
tidur di sampingku.
Suamiku, Manusia Es yang selalu
tidur tanpa bernapas, Manusia Es yang seperti manusia mati….
***
Kini aku merindukan Manusia Es
yang dulu pernah kutemui di skiresort.
Di sini tak mungkin lagi keberadaannya menjadi perhatian siapa pun. Semua orang
di Kutub Selatan menyukai Manusia Es, dan anehnya, orang-orang itu tak mengerti
sepenggal pun kata yang kuucapkan. Sambil menguapkan napas putih mereka, mereka
akan saling menceritakan lelucon dan berdebat serta menyanyikan lagu dalam
bahasa mereka yang tak kumengerti, sementara aku duduk sendirian di kamar kami,
memandang langit abu-abu yang sepertinya tak mungkin akan menjadi cerah dalam
beberapa bulan mendatang. Pesawat terbang yang membawa kami ke sana sudah lama
hilang, dan landasan pesawat kini tertutup lapisan es keras, sekeras hatiku.
“Musim dingin telah datang,”
ujar suamiku. “Ini akan menjadi musim dingin yang sangat panjang. Takkan lagi
ada pesawat atau kapal. Semuanya telah membeku. Kelihatannya kita harus tinggal
di sini sampai musim semi berikutnya,” begitu ucapnya.
Sekitar tiga bulan setelah kami
tiba di Kutub Selatan, aku baru sadar kalau aku hamil. Anak yang akan
kulahirkan pastilah Manusia Es kecil, si junior—aku tahu itu! Rahimku sudah beku dan cairan
ketubanku adalah lumpur es. Aku bisa merasakan dingin dalam diriku. Anakku akan
menjadi seperti ayahnya, memiliki mata seperti tetesan air beku dan jejari yang
juga kaku beku. Keluarga baru kami tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di
luar Kutub Selatan.
O, aku baru tersadar. Masa
lalu abadi, teramat berat dan melampaui semua pemahaman, mencengkeram begitu
erat. Kita tak akan mampu mengguncangnya.
Sekarang… hampir tak ada hati
tertinggal padaku. Kehangatanku telah pergi teramat jauh, dan terkadang aku
bahkan lupa kalau kehangatan itu pernah ada. Di tempat ini, aku lebih kesepian
dari siapa pun di dunia. Dan ketika aku menangis, suamiku sang Manusia Es akan
mendekat dan mencium pipiku. Mengubah air mataku menjadi es. Dan dengan lembut
dia akan mengambil air mata yang membeku di tangannya itu dan meletakkannya di
ujung lidah, “Lihat betapa aku mencintaimu,” katanya.
Dia mengatakan hal yang
sesungguhnya, tapi angin menyapunya ke ketiadaan, meniupkan kata-kata putihnya
kembali dan kembali ke masa lalu…. (*)
Oleh Haruki Murakami diterbitkan di Jawa Pos, 26 Desember 2010
(Hadiah ultah ke-25 untuk
seseorang….)
Cerpen ini diterjemahkan dari
bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Richard L. Peterson. Lalu, diterjemahkan
dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Ucu Agustin.
Posting Komentar