I Believe, I can Swim



Sore hari di Jakarta memang berbeda dari kota-kota lain. Merah lampu kendaraan, falsnya suara musisi jalan dan klakson kendaraan sahut menyahut di setiap sudut kota. Ribuan manusia tumpah ruah bergabung di jalan. Mengejar waktu untuk makan malam bersama keluarga. Ada juga yang menghilangkan penatnya pergi bersama kolega, makan malam di luar, atau duduk-duduk di depan gerbang kantor hanya sekedar bercakap-cakap dengan satpam menanti jalanan kembali lenggang. Terkadang jalan di Jakarta tak pernah lenggang walaupun sampai pukul sepuluh.
Antara pilihan-pilihan itu Saya memilih mengasingkan diri, kemarin. Menghilang dari penatnya Jakarta. Membuat diri tak pernah dianggap dilahirkan di bumi ini. Setelah lelah berkeliling Jakarta dari pagi Saya memilih merendam diri di air. Berenang. Sebenarnya ingin seperti orang Jepang, selepas bekerja berendam di osen. Mumpung di sini tak ada, berenang pun tak masalah.

Kolam renangnya tak cukup baik. Ruang gantinya memiliki empat kamar bilas dan dua kamar mandi. Kamar bilasnya tak memiliki pintu hanya ditutup oleh tirai dari spanduk besar yang dari luar sebenarnya terlihat ke dalam. Kamar bilas pun tak punya air panas. Tapi tak apa, karena sudah malam jadi sudah sepi. Air kolam renangnya pun tak begitu bagus, mungkin karena sudah malam jadi air sudah mengeruh karena ratusan orang sudah merendamkan badannya di sana. Bahkan jutaan bakteri ekoli juga terdapat di sana, kata pepatah “menyelam sambil buang air”.
Jam di dinding menunjukkan angka tujuh. Hanya empat orang saja yang berenang di sana dan karyawan-karyawan yang masih bertugas. Mereka asik ngobrol-ngobrol di kafetaria yang berada di dalam. Hanya satu orang saja yang berenang.
Setelah mengganti baju, Saya memasuki kolam renang. Memilih tempat yang dangkal, maklum tidak bisa berenang. Saya memasuki kolam yang airnya setinggi dada, sekitar satu setengah meter. Jadilah Saya hanya berenang di sekitar sana saja. Sesekali meragakan gaya kupu-kupu yang tak teratur agar orang lain berpikir saya bisa berenang.
Sekitar setengah jam melakukan hal yang sama. Berjalan-jalan di sekitar dalam kolam itu saja, akhirnya Saya memutuskan untuk belajar gerakan. Sulit, karena tak ada yang meberitahu seperti apa gerakannya. Cukup lama seperti itu, hampir setengah jam. Berenang pun jadi tak konsentrasi lagi.

Saat itu badan ada di dalam air, tapi pikiran berada di dimensi yang berbeda. Mengawang-awang. Kadang berpikir ingin membuat kolam renang sendiri, lalu bagaimana kalau punya kolam renang di rumah. Sempat-sempatnya berpikir ada wanita cantik datang dari dalam kolam dengan pakaian renang saja berdiri menatap wajah Saya dan memegang pinggang lalu mengajarkan Saya berenang.
Setelah pikiran mengawang-awang, alam sadar kembali juga ke kepala Saya. Tersadar kalau saat itu Saya sedang menggerakan kedua kaki dan tangan seirama menjaga agar badan tetap berada terapung. Akhirnya, Saya dapat berenang. Merasa belum percaya Saya mencoba berputar-putar mengelilingi kolam. Ternyata memang bisa. Mungkin wanita cantik tadi memang benar-benar ada.
Setelah yakin bisa berenang. Saya menuju kolam yang tingginya hampir dua kali lipat tinggi badan Saya. Awalnya, berenang di pinggir kolam supaya bisa memegang tepian kolam kalau tiba-tiba tenggelam. Rasa percaya diri semakin besar, lalu berenang ke tengah kolam yang tingginya hampir dua kali lipat dari tinggi badan Saya.
Merasa cukup mampu berenang, badan mulai lelah dan nafas pun mulai sesak, Saya naik ke atas untuk membilas badan. Merapikan barang-barang dan sempat membeli sebatang rokok yang menemani Saya meninggalkan kolam renang. Saya putuskan untuk kembali lagi, membuktikan Saya bisa berenang.

Kamis, 21 Juli 2011

Posting Komentar