Astaman Hasibuan, Kesaksian Tapol dan Sajak Kiri







Nama                                      : Astaman Hasibuan
Tempat, Tanggal Lahir      : Simalungun, 17 Maret 1940

Raga terpenjara. Tapi, jeruji besi tak mampu belenggu pikiran manusia.

Belasan orang berkumpul, duduk membentuk setengah lingkaran di pelataran parkir Kantor Gubernur Sumatera Utara (Sumut) pada Senin (14/5) lalu. Ada beberapa pemuda, tapi kebanyakan orang tua berumur 60 tahun keatas. Siang itu, mereka berkumpul untuk menuntut pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkap kebenaran peristiwa pembantaian terhadap orang yang dicap komunis pada 1965-1966 di Indonesia.
Di tengah kerumunan, berdiri lelaki tua bernama Astaman Hasibuan sedang membaca sajak Alunkan Senandungmu, Ito  yang ia tulis di tahun 2002. Belasan orang menatap takzim pada dirinya. Sambutan tepuk tangan untuknya saat bait terakhir siap ia bacakan.
Astaman Hasibuan, sapaan harinya Asbun. Ia lahir pada 17 Maret 1940 di Simalungun, Sumatera Utara. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga agamais yang akrab dengan dunia pergerakan. Bapaknya adalah seorang guru tsanawiyah yang juga eks anggota Partai Nasional Indonesia yang kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Sedangkan sang ibu adalah wanita yang menghabiskan waktunya di rumah untuk mengasuh anak sekaligus berjualan kue basah.
Sejak duduk di bangku SMP, saat Asbun berusia 16 tahun, ia mulai aktif menulis. Sajak-sajak ia ciptakan. Saat itu, beberapa sajaknya sudah dimuat dalam surat kabar yang terbit di daerah Simalungun-Siantar.
Kegandrungannya terhadap dunia menulis, membuat ia memilih dunia jurnalistik sebagai jalan hidupnya. Tahun 1959-1965, ia bekerja sebagai wartawan di surat kabar Harian Harapan. Surat kabar bentukan Partai Komunis Indonesia. Awalnya, ia bekerja di daerah Simalungun-Siantar selama tiga tahun. Setelah itu, ia dipindahkan ke Medan.
Asbun mengaku ketertarikannya menulis sajak-sajak hanya ingin berbeda dengan teman lainnya. Kebetulan katanya, di rumah terdapat buku-buku milik sang ayah. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer koleksi milik sang ayah ia baca semua. “Buku-buku orang kiri juga banyak,” kata Asbun.

Jumat, 18 Mei 2012 Leave a comment

Manusia Es II



Dia tidak akan meleleh, tak peduli betapa hangat kondisi sekitar di mana ia berada. Dia disebut Manusia Es karena tubuhnya sedingin es, tapi apa yang membuatnya begitu, jelas bukan es. Itu bukan jenis dingin yang bisa menghapus panas orang lain. Jadi… kami menikah.
Tidak ada yang memberkati pernikahan itu. Tidak ada teman atau kerabat yang berbahagia untuk kami. Kami tidak mengadakan upacara, dan, ketika datang waktunya bagiku untuk memiliki nama keluarga yang terdaftar, Manusia Es tak memilikinya. Kami hanya memutuskan bahwa kami berdua menikah. Kami membeli kue kecil dan makan bersama, dan itulah pernikahan kami yang sederhana.
Kami menyewa subuah apartemen kecil, dan Manusia Es mencari nafkah dengan bekerja di sebuah fasilitas penyimpanan daging dingin. Dia bisa mengambil sejumlah rasa dingin dari sana, dan tak pernah merasa lelah tak peduli seberapa keras ia bekerja. Majikan suamiku sangat menyukainya, dan membayar gaji Manusia Es lebih tinggi dari karyawan lain.
Kami berdua hidup bahagia tanpa mengganggu atau diganggu siapa pun. Ketika kami bercinta dan Manusia Es menggumuliku, aku melihat dalam pikiranku, sepotong es yang kuyakin ada di suatu tempat di kesendirian yang tenang.
Kupikir Manusia Es mungkin tahu di mana es tersebut berada. Es yang dingin, beku, dan keras, sebegitu kerasnya hingga kupikir tidak ada yang bisa melebihi kekerasannya. Itulah lempengan es terbesar di dunia. Terletak di suatu tempat yang sangat jauh, dan rupanya manusia Es tengah membagikan kenangan tersebut padaku dan pada dunia.
Awalnya, aku kerap bingung bila Manusia Es mengajak bercinta. Tapi, setelah beberapa waktu, aku menjadi terbiasa. Aku bahkan mulai menyukai bercinta dengan Manusia Es.
Pada malam hari, diam-diam kami berbagi potongan es terbesar di dunia, di mana ratusan juta tahun masa lalu dunia, tersimpan di dalamnya.

Sabtu, 12 Mei 2012 Leave a comment

Manusia Es I




AKU menikahi Manusia Es.
Pertama bertemu dengannya di sebuah hotel di ski resort, tempat paling sempurna untuk menemukan Manusia Es, memang. Lobi hotel begitu riuh dengan anak muda, tapi Manusia Es duduk sendiri di kursi sudut yang letaknya paling jauh dari perapian, diam membaca buku sendirian. Meski sudah hampir malam, tapi cahaya dingin pagi awalwinter terlihat berpendar mengitarinya.
“Lihat! Itu si Manusia Es,” bisik temanku.
Waktu itu, aku sungguh tak tahu makhluk apa itu Manusia Es. Temanku juga. “Dia pasti terbuat dari es. Itu sebabnya orang-orang menyebutnya Manusia Es.” Temanku mengatakan hal tersebut dalam nada serius seolah dia sedang membicarakan hantu atau seseorang dengan penyakit menular.
Manusia Es tinggi, tampak muda, tegap, sedikit bagian rambutnya tampak putih seperti segenggam salju yang tak meleleh. Tulang pipinya tajam meninggi seperti batu yang beku, dan jarinya embun beku putih yang seolah abadi. Namun begitu, Manusia Es terlihat seperti manusia normal. Dia tidak seperti lelaki yang bisa kau sebut tampan memang, tapi dia terlihat begitu menarik—tergantung dari bagaimana kau melihatnya. Dalam suatu kesempatan, sesuatu tentang dia menusukku sampai ke hati. Aku merasakan hal tersebut terutama saat memandang matanya. Tatapannya senyap dan transparan seperti serpih cahaya dalam untaian tetes salju di pagi musim dingin. Seperti kilatan kehidupan dalam tubuh makhluk buatan.
Aku berdiri beberapa saat memperhatikan si Manusia Es dalam jarak dekat. Dia tak menoleh. Dia hanya duduk diam, tak bergerak. Membaca bukunya seakan tiada seorang pun yang ada di sana selain dirinya….

Keesokan paginya, Manusia Es masih berada di tempat yang sama, membaca buku dengan cara yang persis sama. Ketika aku melangkah ke ruang makan untuk makan siang, dan ketika aku kembali dari bermain ski dengan teman-teman pada malam tersebut, dia masih ada di sana, mengarahkan tatapan yang sama pada halaman-halaman buku yang sama. Hal serupa terjadi sehari setelah itu. Bahkan ketika matahari tenggelam rendah, dan jam terlambat tumbuh, ia duduk di kursinya, setenang adegan musim dingin di luar jendela.

Leave a comment

Keberangkatan



Hari ini aku jadi manusia paling menyebalkan dalam hidupmu. Ketika meminta mengantarkan aku pergi ke stasiun untuk kereta api sore. Sesak pertanyaan di hatimu. Mempertanyakan kepergianku yang cepat. Padahal saat ini adalah hari terakhir aku bisa menatap wajahmu langsung. Seharusnya kita manfaatkan waktu yang tersisa dengan makan malam bersama, atau berjalan keliling menikmati cahaya lampu kota.
Apalagi besok adalah harimu. Ulang tahunmu ke-21. Dalam hatimu berkata, “kenapa tidak menunggu besok?” Seharusnya aku berada di sebelahmu untuk jadi manusia pertama yang mengucapkan selamat kepadamu. Mungkin menjadi orang yang mengejutkanmu ketika mengetuk pintu flatmu di tengah malam sekadar memberikan kecupan kening. Paling tidak aku ada di dekapmu saat berjalan di atas pasir pantai kala senja.
Tapi seperti biasa kamu lebih memilih diam. Kita berjalan menuju stasiun dekat flatmu. Kamu kenakan sweter pink pemberianku, dengan rambut tetap dikuncir seperti biasanya. Dan aku dengan ransel berjalan di sebelahmu. Tak ada kata terucap dari kita, karena saling mencoba berpikir apa yang terjadi setelah hari ini.

Jumat, 13 April 2012 1 Comment

10 Tahun Lalu


Waktu punya romantisme tersendiri. Ia menjadikan manusia selalu ada di kini, esok, lusa, esok lusa, sampai jasad pun dibenamkan ke dalam tanah. Ia bagaikan jalan-jalan di belakang, datar, berliku, bergelombang, menanjak, menurun, dan berlubang.
Malam dua hari lalu terpecah karena seseorang. Saat sekretariat SUARA USU telah menyepi dan hanya tersisa beberapa anggota, mantan Pemimpin Redaksi SUARA USU, Faisal Utama, berkunjung ke SUARA USU. Dia bersama istri, seorang putra dan putrinya memecah kesunyian malam saat itu. Ia baru saja datang dari Jakarta. Kota merah penuh impian.
Bang Ical, sapaan harinya, memutar-mutar rol film di alam kenangannya. SUARA USU, ia jadikan pintu waktu. Ia kembali ke masa 18 tahun silam. Saat ia melamar sebagai anggota, jadi anggota tetap, hingga pemimpin redaksi, saat silam penuh warna dan rasa. Ia sebutkan nama-nama rekannya saat menjadi bagian SUARA USU. Denny (Denny S Batubara), Bang Yul (Yulhasni), Tikwan (Tikwan Raya Siregar), Dadong dan lainnya. Wajahnya berbicara, memvisualkan apa yang terjadi di tahun-tahun itu.
Saya sempat bertanya pada dia. “Kapan terakhir ke SUARA USU Bang?”. Ia diam, dahi menekuk.
“10 tahun yang lalu,” jawabnya dengan pasti.
“10 tahun lalu?” berkata dalam hati. Sambil memikirkan apa yang sedang saya lakukan saat 10 tahun lalu. Saat itu, saya baru kelas 5 SD dan Ia sudah menjadi pemimpin redaksi, mengalami bara jiwa muda, bebas, melakukan pilihan-pilihan hidup. Kini ia telah menjadi manusia utuh, memiliki keluarga, mengalami masa muda yang kenal kompromi.

Jumat, 02 Maret 2012 Leave a comment

« Postingan Lama