Jangan Tulis Kami Teroris!






Judul                         : Jangan Tulis Kami Teroris
Penulis                      : Linda Christanty
Penerbit                    : Keputakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit             : 2011
Harga Buku               : 32.500


Oleh   : M Januar Rizki

Salah seorang dari duet jubah putih itu menghampiri mobil kami dan bertanya-tanya dengan suara keras pada Tu Nazir yang sudah memegang kemudi. Pipinya agak tembam. Brewokan. Matanya nyalang. Tu menjawab tenang, “Ini wartawan mendengar dayah kalian dituduh sebagai sarang teroris. Dia ingin tahu apa benar atau tidak.”
...
Orang berjubah ini membalas ucapan Tu. “Wartawan? Dulu ada wartawan BBC datang ke sini. Untuk wawancara, dia membawa 50 sak semen. Kalau ke sini wajib menyumbang.”
Hairul menghampiri lelaki berjubah putih yang tadi bicara pada Tu. Entah apa yang dikatakannya. Saat keduanya sedang terlibat percakapan, mobil bergerak menuju jalan raya. Tak berapa lama terdengar lantang orang-orang berjubah, “Jangan tulis kami teroris! Jangan tulis kami teroris!
     Begitulah salah satu adegan dalam salah satu judul dalam buku yang berjudul sama “Jangan Tulis Kami Teroris” ketika Linda Christanty bersama rekannya menuju salah satu dayah atau pesantren di salah satu daerah di Aceh. Dayah itu diduga menjadi sarang teroris. Ketika itu Linda ingin menjumpai pemimpin dayah, namun sambutan dingin yang mereka terima dari orang-orang berjubah.
   
 Linda kembali meluncurkan buku keduanya setelah Dari Jawa Menuju Atjeh. Buku ini menyajikan liputan perjalanan Linda dari Aceh, Malaysia, Thailand hingga Kamboja dan mengemasnya menjadi 14 judul tulisan yang sudah diunggah dalam blognya dan situs online Aceh Feature.
      Ia menceritakan kejadian di setiap daerah yang menjadi tempat liputannya yang sebagian besar di Aceh. Linda menjelaskan bagaimana di Aceh terjadi perlawanan terhadapa kolonialisme Jawa dengan nasionalisme Aceh. Bagaimana cintanya masyarakat Aceh terhadap Hasan Tiro pemimpin Gerakan Aceh Merdeka saat menghadiri pemakaman tokoh yang menghabiskan waktunya justru di luar negeri dengan penuh isak tangis.
       Dalam salah satu cerita di buku ini ada dialog menarik antara Linda dengan adiknya. Adiknya seorang wanita yang sudah mengenakan jilbab saat rezim Suharto, yang melarang wanita mengenakan jilbab. Dalam dialog tersebut Linda mencoba menjelaskan bahwa mengenakan atau tidak mengenakan jilbab bukanlah hal yang harus dipaksakan dan merupakan panggilan. Ia menjelaskan arti pentingnya toleransi.
     Kemudian dalam judul tulisannya “Perpecahan dalam Persatuan”, Linda menceritakan  diskiriminasi yang terjadi pada warga negara Malaysia yang non-pribumi dengan menerapkan hak-hak istimewa bagi masyarakat pribumi. Lalu  bagaimana konflik kekerasan yang tak kunjung usai di Thailand atas nama agama, ideologi negara.
       Berbeda dengan buku sebelumnya Linda mencoba yang membuat kita untuk merenung dengan tulisan-tulisan panjang, kali ini tulisan-tulisan dalam buku ini lebih pendek dan tajam. Dalam buku ini Ia ingin mengajak pembaca berpikir kritis terhadap ketidakadilan, kesewenangan dengan segala alasan bahkan suatu ideologi atau “-isme”. Tidak hanya menyajikan peristiwa-peristiwanya saja, Linda juga membongkar sebab-sebabnya.
    Profesi Linda yang seorang wartawan cum sastrawan ini membuat penyajian tulisan dikemas dengan apik. Pembaca seakan seperti diajak bercerita dengan alur cerita yang mengalir dan pendeskripsian situasi yang jelas. Buku ini tidak hanya untuk dibaca oleh wartawan saja, tetapi untuk semua kalangan yang ingin berpikir kritis terhadap fenomena-fenomena yang terjadi saat ini.


Juga dimuat di www.suarausu-online.com

Selasa, 15 November 2011

Posting Komentar